Beranda | Artikel
Landasan Hidayah dalam Al-Fatihah
17 jam lalu

Landasan Hidayah dalam Al-Fatihah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Al-Fawaid. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah TaslimM.A. pada Kamis, 14 Muharram 1447 H / 10 Juli 2025 M.

Kajian Islam Tentang Landasan Hidayah dalam Al-Fatihah

﴿الْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ۝ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ۝ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ﴾

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pengasih, Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 2–4)

Dalam tiga ayat pertama ini terkandung landasan pertama dari hidayah, landasan yang paling utama yaitu mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat Maha Pencipta, Maha Pengatur alam semesta, serta mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah puncak dari ilmu.

Tentu saja, inilah ilmu yang paling agung dan paling mulia dalam Islam secara mutlak. Sebab, ilmu ini menjadikan kita mengenal Dzat Yang Maha Agung, Maha Tinggi, dan Maha Besar. Inilah ilmu yang paling dibutuhkan oleh hati manusia untuk menjaga kehidupan dirinya, agar hati tetap hidup dan senantiasa memperoleh limpahan kebaikan. Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sumber utama kehidupan hati. Karena itu, tiga ayat pertama dalam Surah Al-Fatihah ini mengandung landasan utama dari hidayah.

Bahkan, nama-nama Allah yang disebutkan dalam tiga ayat pertama Surah Al-Fatihah merupakan pokok dari nama-nama-Nya yang Maha Indah. Allah memiliki nama-nama yang Maha Indah. Di dalam hadits dikatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki 99 Asmaul Husna. Namun dalam hadits shahih yang lain disebutkan bahwa Allah memiliki nama-nama lain yang Dia khususkan pada ilmu gaib yang ada di sisi-Nya. Maka, nama-nama Allah lebih dari 99, dan setiap nama mengandung sifat. Ini menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak terbatas semuanya adalah sifat-sifat yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.

Jadi, dasar dari nama-nama Allah disebutkan dalam tiga ayat pertama Surah Al-Fatihah. Seluruh makna dari nama-nama dan sifat-sifat Allah kembali kepada tiga nama-Nya yang Maha Agung, yaitu:

اللّٰهُ Allah

Nama اللّٰهُ (Allah) mengandung makna uluhiyyah, yaitu bahwa hak untuk diibadahi dan disembah secara mutlak hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

الرَّبُّ Ar-Rabb

الرَّبُّ (Ar-Rabb) mengandung makna rububiyyah, yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Taʿala adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memberikan rezeki kepada seluruh makhluk, menghidupkan, mematikan, dan membangkitkan pada hari kiamat. Karena itu, hanya Dia yang pantas disembah, satu-satunya, tanpa sekutu bagi-Nya.

الرَّحْمٰنُ Ar-Rahman

الرَّحْمٰنُ (Ar-Rahman) mengandung makna kasih sayang, kedermawanan dan kebaikan, berupa limpahan nikmat yang senantiasa Allah Subhanahu wa Taʿala berikan kepada hamba-hamba-Nya.

Maka, tiga nama ini merupakan induk dan tempat kembali seluruh makna dari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا﴾

“Dan Allah memiliki nama-nama yang indah, maka bermohonlah kepada-Nya dengan nama-namanya yang indah.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

Kemudian ayat selanjutnya:

﴿إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 5)

Ayat ini mengandung pengertian tentang mengenal jalan yang akan menyampaikan kita kepada Allah dan kepada keridaan-Nya. Ini adalah ilmu yang dibutuhkan setelah mengenal Allah, yaitu bagaimana cara mencapai keridaan-Nya dan sampai kepada-Nya. Surah Al-Fatihah menjelaskan bahwa cara untuk sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  secara sempurna dalam ayat ini. Cara tersebut adalah dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Namun, hal itu tidak akan mungkin dapat dicapai kecuali dengan pertolongan, hidayah, dan kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun jalan untuk mencapai keridaan Allah tidak lain adalah dengan beribadah kepada-Nya semata, melalui amalan-amalan yang dicintai dan diridai-Nya, serta senantiasa memohon pertolongan kepada Allah agar Dia memudahkan ibadah tersebut bagi hamba-hamba-Nya.

Karena itulah, ayat ini disebut oleh sebagian ulama sebagai inti dari Surah Al-Fatihah. Sebab, beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata merupakan inti dari seluruh ajaran Islam itulah tauhid. Tauhid yang sesungguhnya. Demikian pula, permohonan pertolongan kepada Allah dalam melakukan segala kebaikan dan meninggalkan segala keburukan.

Ini adalah wujud penyandaran hati yang utuh kepada Allah. Hal ini juga merupakan inti dari makna tauhid. Karena itu, kedua hal tersebut digandengkan dalam ayat ini. Dan benar jika dikatakan bahwa ayat ini merupakan penjelasan tentang landasan hidayah dari Allah awt yang sesungguhnya.

Kemudian ayat yang selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:

﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ﴾

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)

Ayat ini mengandung penjelasan bahwa seorang hamba tidak memiliki cara atau jalan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat kecuali dengan istiqamah, tetap teguh di atas jalan yang lurus hingga ia berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana tidak ada jalan bagi seorang hamba untuk dapat istiqamah tetap teguh di atas jalan Islam yang benar, jalan Islam yang lurus kecuali dengan hidayah dari Allah kepada dirinya. Jika bukan karena hidayah dari Allah, tidak ada seorang pun yang dapat selamat.

Jadi, sebagaimana tidak ada jalan untuk beribadah kepada Allah kecuali dengan pertolongan dan taufik dari-Nya, demikian pula tidak ada cara untuk dapat istiqamah kecuali dengan hidayah taufik dari Allah Subhanahu wa Taʿala.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:

﴿ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ﴾

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6–7)

Ayat ini mengandung penjelasan tentang dua golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dua bentuk penyimpangan tersebut adalah:

Orang-orang yang dimurkai oleh Allah, orang-orang yang tersesat.

Orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan orang-orang yang tersesat disebutkan dalam hadits sahih yang dibawakan dalam Tafsīr Ibnu Katsīr, dan dinyatakan sahih sanadnya oleh Syaikh al-Albani rahimahullahu Taʿala. Hadits ini sahih dari berbagai jalurnya. Orang-orang yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  adalah kaum Yahudi, sedangkan orang-orang yang tersesat adalah kaum Nasrani. Kaum Yahudi adalah orang-orang yang memiliki ilmu, bahkan mengenal petunjuk yang ada dalam kitab mereka, tetapi mereka tidak mengamalkannya dengan benar. Sementara kaum Nasrani adalah orang-orang yang bersemangat dalam beramal, namun tanpa ilmu.

Dua bentuk penyimpangan ini menyimpang dari jalan Allah yang lurus jalan yang mengajarkan kepada kita ilmu yang benar, ilmu yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Kemudian, ilmu tersebut diamalkan dengan ikhlas dan sesuai dengan apa yang dicintai serta diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun penyimpangan kepada salah satu dari dua bentuk penyimpangan ini merupakan penyimpangan dari jalan Allah yang lurus.

Pertama, penyimpangan menuju kesesatan. Ini adalah bentuk kerusakan dalam ilmu dan keyakinan.

Kedua, penyimpangan menuju kemurkaan Allah. Penyimpangan ini terjadi karena rusaknya niat dan amalan berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu. Tidak menjadikan ilmu sebagai sebab yang meluruskan niat dan membenarkan tujuan dalam beramal. Inilah yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi, ayat ini benar-benar membimbing kita untuk meniti jalan yang lurus, sekaligus mengingatkan kita terhadap dua bentuk penyimpangan yang harus dihindari: penyimpangan yang membawa kepada kesesatan, dan penyimpangan yang membawa kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jalan Islam adalah jalan yang lurus. Inilah jalan yang pernah ditempuh oleh Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian dilalui oleh para sahabat Raḍiyallhu ‘anhum ajma‘in, lalu diikuti oleh orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan. Mereka inilah yang dijamin keselamatannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55307-landasan-hidayah-dalam-al-fatihah/